Golongan V untuk Warna Kulit Cokelat Tua
Warna kulit cokelat tua memiliki jumlah melanin yang lebih banyak dibandingkan warna kulit cokelat. Akibatnya, ketahanan kulit jenis ini terhadap paparan sinar UV matahari lebih baik karena dapat beradaptasi dengan sangat baik. Golongan yang memiliki warna kulit cokelat tua bisa juda disebut dark brown.
Tidak hanya itu, karena banyaknya melanin pada warna kulit cokelat tua, kulit golongan V memiliki perlindungan yang lebih baik terhadap penuaan. Karena terlindungi dari penuaan, munculnya keriput dan garis-garis halus dapat diminalisir. Semakin gelap kulit seseorang, dikatakan bahwa semakin terlihat awet muda dibandingkan yang memiliki warna kulit putih pucat.
Ciri-ciri fisik selain warna kulit dari orang-orang yang memiliki kulit golongan V adalah mata berwarna cokelat tua dan rambut berwarna cokelat gelap atau hitam. Jika kulit terkena paparan sinar UV dari matahari, kulit mereka dengan mudah berubah warna menjadi lebih gelap. Namun kulit jenis ini sangat jarang sekali terbakar atau muncul bitnik-bintik. Anda dapat menemukan ciri-ciri ini pada banyak penduduk Afrika dan ras Hispanik.
Golongan II untuk Kulit Warna Putih
Orang-orang dengan warna kulit putih dapat dilihat pada orang-orang Eropa pada umumnya dan Afrika Utara seperti Mesir, Tunisia, Aljazair, dan sebagainya. Ciri-ciri fisik selain kulit adalah memiliki warna mata biru, hijau, dan abu-abu. Rambut alami mereka berwarna pirang.
Sama halnya seperti golongan kulit I, kulit jenis ini memproduksi melanin jenis pheomelanin yang tidak dapat melindungi kulit dari paparan sinar ultraviolet matahari. Mereka memiliki resiko terserang kanker kulit lebih tinggi dibandingkan orang-orang yang memiliki jenis kulit lainnya.
Orang-orang yang disertai warna kulit putih memiliki kulit yang mudah terbakar dan sulit berubah menjadi warna cokelat jika terkena paparan sinar matahari. Namun demikian, warna kulit putih ini tetap bisa menjadi cokelat meskipun sangat sulit.
Golongan VI untuk Warna Kulit Cokelat Sangat Tua Menuju Hitam
Golongan warna kulit terakhir yang disebutkan oleh Fitzpatrick dalam teori skala warna kulitnya adalah very dark brown. Ya, Anda benar Grameds. Golongan warna kulit very dark brown ini memiliki jumlah melanin yang sangat banyak dan mengakibatkan warna kulit menjadi cokelat mendekati hitam.
Rata-rata orangnya memiliki mata berwarna cokelat kehitaman dan berambut hitam. Orang-orang yang memiliki kulit berwarna cokelat sangat tua ini banyak yang mendiami Benua Afrika dan suku Aborigin (penduduk asli Benua Australia).
Kulit yang berada tipe ini merupakan kulit yang paling aman dari resiko kanker kulit. Meskipun terkena paparan sinar UV dari matahari, kulit jenis ini memiliki kemampuan beradaptasi yang paling baik dibandingkan kulit jenis lainnya. Jika terkena paparan sinar UV matahari, kulit berwarna very dark brown tidak muncul bintik-bintik, tidak pernah terbakar, namun selalu berubah menjadi gelap.
Bagi Anda yang masih penasaran bagaimana merawat kulit berdasarkan golongan kulit, Anda bisa membaca buku-buku pilihan kami.
Karena setiap tipe warna kulit memiliki jumlah pigmen melanin, kemampuan beradaptasi di bawah paparan sinar UV matahari, dan karakter yang berbeda, maka masing-masing tipe warna kulit memilikicara perawatan yang berbeda. Untuk kulit tipe I sampai III, Anda memiliki kulit yang mempunyai resiko tinggi akan terbakar, melanoma, kanker kulit, dan penuaan akibat paparan sinar UV matahari.
Oleh karena itu, para dermatolog atau dokter kulit menyarankan Anda agar melakukan beberapa tips di bawah ini:
Sementara itu, bagi Anda yang memiliki warna kulit tipe IV sampai VI, tips yang diberikan pada dasarnya hampir sama dengan yang diberikan untuk warna kulit tipe I sampai III. Hanya saja, pakaian pelindung yang digunakan tidak diharuskan memiliki UPF sebesar 30. Dan Anda cukup menggunakan sunscreen yang memiliki SPF minimal 15 jika keluar di bawah paparan sinar matahari.
Masih penasaran cara merawat kulit lainnya? Tenang, kami masih ada stok buku-buku terbaik.
Grameds, ulasan kita mengenai macam warna kulit manusia telah sampai pada ujungnya. Kami yakin masih ada banyak bahasan mengenai warna kulit dan perawatan kulit. Oleh karena itu, Gramedia menjadi #Sahabattanpabatas Anda untuk menggali ilmu dan pengetahuan lebih dalam lagi dengan buku-buku pilihan kami.
Penulis: Nanda Iriawan Ramadhan
Macam-Macam Warna Kulit – Berbicara mengenai warna kulit manusia, tentu teringat tentang ras. Masalah yang masih sering terjadi di dunia ini adalah tindakan rasisme yang dapat mengganggu kebebasan hidup seseorang atau suatu kelompok. Hal ini tentu memunculkan rasa penasaran kita sebenarnya ada berapa sih jumlah ras di dunia ini? Dan ada berapa jenis warna kulit manusia di dunia? Grameds, dalam kesempatan kali ini kita akan mengulas macam-macam warna kulit manusia. Yuk langsung aja kita simak ulasan berikut ini.
Apa yang Anda pikirkan pertama kali ketika mendengar kata “ras”? Kata ras berasal dari budaya Barat, tepatnya Bahasa Perancis-Italia razza yang artinya adanya perbedaan macam-macam penduduk berdasarkan tampilan fisik. Yang menjadi indikator dalam pembagian ras meliputi warna kulit, warna mata, bentuk dan warna rambut, bentuk tubuh, dan bentuk mata.
Pengertian ras yang lain mengacu pada perangai atau perawakan yang terlihat secara fisik atau sikap sebuah kelompok, yang seringkali menggambarkan penduduk dari suatu geografi tertentu. Tidak hanya itu, ras juga sering dihubungkan dengan klan, keluarga, dan garis keturunan dalam sebuah kelompok. Pengertian ras manusia yang paling mendekati kebenaran adalah pengklasifikasian manusia berdasarkan ciri-ciri biologis, bukan sosiokultural.
Berdasarkan warna kulit Alfred Louis Kroeber, seorang antropogi asal Amerika Serikat, manusia terbagi menjadi tiga kelompok besar ras dan beberapa ras khusus. Di bawah ini akan kita ulas secara garis besar macam-macam ras menurut klasifikasi yang dilakukan oleh Kroeber.
Ras manusia jenis ini pada umumnya memiliki ciri-ciri fisik kulit berwarna kuning. Meski anggapan warna kulit kuning tidak benar, namun mayoritas. Misalkan saja orang Asia Tenggara cenderung berkulit cokelat muda dan cokelat gelap. Ras Mongoloid sebagian besar tersebar di daerah Asia Timur, Asia Tenggara, Madagaskar, beberapa bagian EEropa Utara, Amerika Utara, Amerika Selatan, India Timur Laut, dan Oseania.
Ras Mongoloid dikelompokkan lagi menjadi tiga kelompok ras. Pertama, Asiatic Mongoloid yang meliputi Asia Tengah, Asia Timur, dan Asia Utara). Kedua, Malayan Mongoloid, meliputi Indonesia, penduduk asli Taiwan, dan Asia Tenggara. Ketiga, American Mongoloid yang merupakan penduduk asli benua Amerika.
Ras Negroid merupakan ras manusia yang ciri-ciri umumnya adalah kulit mereka yang berwarna hitam dan berambut keriting. Ras Negroid banyak tersebar di seluruh dunia, namun utamanya mereka mendiami benua Afrika yang berada di sebelah selatan gurun sahara. Mereka memiliki banyak keturunan yang tersebar di Amerika Utara, Amerika Selatan, Timur Tengah, dan Eropa.
Ras Negroid terbagi menjadi tiga kelompok lagi. Pertama, African Negroid yang merupakan penduduk asli Afrika. Kedua, Negrito yang tersebar di Semenanjung Malaya yang biasa juga dikenal orang Semang di Filiphina.
Ketiga, Melanesian. Istilah Melanesia dalam bahasa Yunani berarti pulau hitam. Penamaan ini karena mayoritas penghuni pulau-pulau ini merupakan orang-orang yang memiliki kulit berwarna hitam. Melanesia merupakan wilayah-wilayah yang berada di Nusa Tenggara Timur, Irian yang tinggal di area Irian Jaya atau Papua, Timor Leste, Vanuatu, French Polynesia, Fiji, dan Solomon.
Ciri utama dari ras Kaukosid adalah mereka pada umumnya memiliki kulit berwarna putih. Sebagian besar ras ini menetap di Afrika Utara, India Utara, Pakistan, Timur Tengah, dan Eropa. Mereka memiliki banyak keturunan dan tersebar di Amerika Utara dan Australia. Tidak hanya itu,mereka juga tersebar di sebagian wilayah Afrika Selatan, Amerika Selatan, dan Selandia Baru.
Meskipun mayoritas ras ini memiliki kulit berwarna putih, tidak semua orang ras Kaukosid memiliki kulit berwarna putih. Orang Somalia dan Ethiopia bisa menjadi contoh dalam hal ini. Meskipun mereka ciri-ciri fisik mereka seperti orang Negroid, yakni berambut keriting dan berkulit hitam, tengkorak mereka lebih mirip dengan ras Kaukosid sehingga dimasukka ke dalam golongan ras kaukosid.
Ras Kaukosid terbagi menjadi empat kelompok lagi. Pertama, Nordic yang berada di Eropa Utara untuk daerah sekitar Laut Baltik. Kedua, Alpine untuk Eropa Tengah dan Eropa Timur. Ketiga, Mediteranian yang meliputi Afrika Utara, Laut Tengah, Arab, Armenia, dan Iran. Dan yang keempat, Indic yang meliputi India, Pakistan, Sri Lanka, dan Bangladesh.
Warna kulit tidak jarang menjadi sumber munculnya kasus diskriminasi dalam kehidupan sosial maupun politik. Hal ini dapat Anda pelajari dalam pengaruh politik akibat warna kulit perempuan. Anda tidak perlu khawatir karena kami merekomendasikan buku-buku terbaik untuk Anda.
Selain ketiga ras besar di atas, di dunia masih ada beberapa ras yang khusus yang tidak terlalu besar namun tidak bisa diamasukkan ke dalam tiga ras lainnya. Hal ini tentu menjadi sumber keunikan ras-ras khusu ini. Tercatat ada empat ras khusus lainnya yang perlu kita kenali.
Pertama, ras Bushman yang merupakan penduduk di area Gurun Kalahari di wilayah Afrika Selatan. Kedua, ras Veddoid yang mendiami pedalaman di Sri Lanka. Ketiga, ras Polynesian yang mendiami Kepulauan Mikronesia dan Polynesia. Keempat, ras Ainu yang berada di wilayah Pulau Karafuto dan Hokkaido di Jepang.
Golongan III untuk Warna Kulit Cokelat Terang
Warna kulit cokelat terang ini memiliki warna mendekati beige, yakni cokelat yang sangat terang. Warna rambut mereka rata-rata pirang gelap atau cokelat muda. Warna mata mereka merah kecokelatan atau cokelat muda. Grameds dapat menemui warna kulit ini pada orang-orang Asia pada umumnya.
Pada banyak penjelasan medis, kulit jenis ini memiliki resiko yang cukup tinggi untuk terserang kanker kulit jika terpapar sinar ultraviolet, sama halnya seperti warna kulit putih pucat dan warna kulit putih. Jika terpapar sinar ultraviolet matahari, kulit ini jenis ini dapat berubah menjadi cokelat tua, berbintik, atau terbakar.
Macam-Macam Warna Kulit – Berbicara mengenai warna kulit manusia, tentu teringat tentang ras. Masalah yang masih sering terjadi di dunia ini adalah tindakan rasisme yang dapat mengganggu kebebasan hidup seseorang atau suatu kelompok. Hal ini tentu memunculkan rasa penasaran kita sebenarnya ada berapa sih jumlah ras di dunia ini? Dan ada berapa jenis warna kulit manusia di dunia? Grameds, dalam kesempatan kali ini kita akan mengulas macam-macam warna kulit manusia. Yuk langsung aja kita simak ulasan berikut ini.
Apa yang Anda pikirkan pertama kali ketika mendengar kata “ras”? Kata ras berasal dari budaya Barat, tepatnya Bahasa Perancis-Italia razza yang artinya adanya perbedaan macam-macam penduduk berdasarkan tampilan fisik. Yang menjadi indikator dalam pembagian ras meliputi warna kulit, warna mata, bentuk dan warna rambut, bentuk tubuh, dan bentuk mata.
Pengertian ras yang lain mengacu pada perangai atau perawakan yang terlihat secara fisik atau sikap sebuah kelompok, yang seringkali menggambarkan penduduk dari suatu geografi tertentu. Tidak hanya itu, ras juga sering dihubungkan dengan klan, keluarga, dan garis keturunan dalam sebuah kelompok. Pengertian ras manusia yang paling mendekati kebenaran adalah pengklasifikasian manusia berdasarkan ciri-ciri biologis, bukan sosiokultural.
Berdasarkan warna kulit Alfred Louis Kroeber, seorang antropogi asal Amerika Serikat, manusia terbagi menjadi tiga kelompok besar ras dan beberapa ras khusus. Di bawah ini akan kita ulas secara garis besar macam-macam ras menurut klasifikasi yang dilakukan oleh Kroeber.
Ras manusia jenis ini pada umumnya memiliki ciri-ciri fisik kulit berwarna kuning. Meski anggapan warna kulit kuning tidak benar, namun mayoritas. Misalkan saja orang Asia Tenggara cenderung berkulit cokelat muda dan cokelat gelap. Ras Mongoloid sebagian besar tersebar di daerah Asia Timur, Asia Tenggara, Madagaskar, beberapa bagian EEropa Utara, Amerika Utara, Amerika Selatan, India Timur Laut, dan Oseania.
Ras Mongoloid dikelompokkan lagi menjadi tiga kelompok ras. Pertama, Asiatic Mongoloid yang meliputi Asia Tengah, Asia Timur, dan Asia Utara). Kedua, Malayan Mongoloid, meliputi Indonesia, penduduk asli Taiwan, dan Asia Tenggara. Ketiga, American Mongoloid yang merupakan penduduk asli benua Amerika.
Ras Negroid merupakan ras manusia yang ciri-ciri umumnya adalah kulit mereka yang berwarna hitam dan berambut keriting. Ras Negroid banyak tersebar di seluruh dunia, namun utamanya mereka mendiami benua Afrika yang berada di sebelah selatan gurun sahara. Mereka memiliki banyak keturunan yang tersebar di Amerika Utara, Amerika Selatan, Timur Tengah, dan Eropa.
Ras Negroid terbagi menjadi tiga kelompok lagi. Pertama, African Negroid yang merupakan penduduk asli Afrika. Kedua, Negrito yang tersebar di Semenanjung Malaya yang biasa juga dikenal orang Semang di Filiphina.
Ketiga, Melanesian. Istilah Melanesia dalam bahasa Yunani berarti pulau hitam. Penamaan ini karena mayoritas penghuni pulau-pulau ini merupakan orang-orang yang memiliki kulit berwarna hitam. Melanesia merupakan wilayah-wilayah yang berada di Nusa Tenggara Timur, Irian yang tinggal di area Irian Jaya atau Papua, Timor Leste, Vanuatu, French Polynesia, Fiji, dan Solomon.
Ciri utama dari ras Kaukosid adalah mereka pada umumnya memiliki kulit berwarna putih. Sebagian besar ras ini menetap di Afrika Utara, India Utara, Pakistan, Timur Tengah, dan Eropa. Mereka memiliki banyak keturunan dan tersebar di Amerika Utara dan Australia. Tidak hanya itu,mereka juga tersebar di sebagian wilayah Afrika Selatan, Amerika Selatan, dan Selandia Baru.
Meskipun mayoritas ras ini memiliki kulit berwarna putih, tidak semua orang ras Kaukosid memiliki kulit berwarna putih. Orang Somalia dan Ethiopia bisa menjadi contoh dalam hal ini. Meskipun mereka ciri-ciri fisik mereka seperti orang Negroid, yakni berambut keriting dan berkulit hitam, tengkorak mereka lebih mirip dengan ras Kaukosid sehingga dimasukka ke dalam golongan ras kaukosid.
Ras Kaukosid terbagi menjadi empat kelompok lagi. Pertama, Nordic yang berada di Eropa Utara untuk daerah sekitar Laut Baltik. Kedua, Alpine untuk Eropa Tengah dan Eropa Timur. Ketiga, Mediteranian yang meliputi Afrika Utara, Laut Tengah, Arab, Armenia, dan Iran. Dan yang keempat, Indic yang meliputi India, Pakistan, Sri Lanka, dan Bangladesh.
Warna kulit tidak jarang menjadi sumber munculnya kasus diskriminasi dalam kehidupan sosial maupun politik. Hal ini dapat Anda pelajari dalam pengaruh politik akibat warna kulit perempuan. Anda tidak perlu khawatir karena kami merekomendasikan buku-buku terbaik untuk Anda.
Selain ketiga ras besar di atas, di dunia masih ada beberapa ras yang khusus yang tidak terlalu besar namun tidak bisa diamasukkan ke dalam tiga ras lainnya. Hal ini tentu menjadi sumber keunikan ras-ras khusu ini. Tercatat ada empat ras khusus lainnya yang perlu kita kenali.
Pertama, ras Bushman yang merupakan penduduk di area Gurun Kalahari di wilayah Afrika Selatan. Kedua, ras Veddoid yang mendiami pedalaman di Sri Lanka. Ketiga, ras Polynesian yang mendiami Kepulauan Mikronesia dan Polynesia. Keempat, ras Ainu yang berada di wilayah Pulau Karafuto dan Hokkaido di Jepang.
Golongan I untuk Warna Kulit Putih Pucat
Golongan warna kulit putih pucat atau warna kulit ivory ini seringkali diklasifikasikan untuk warna kulit orang-orang ras Kaukosid. Orang-orang Kaukasian rata-rata memiliki warna kulit putih yang pucat.
Ciri-ciri fisik penyerta lainnya adalah pada umumnya, mereka memiliki rambut berwarna merah atau pirang muda. Warna mata mereka bisa beragam antara biru muda, hijau muda, dan abu-abu muda. Warna kulit putih pucat pada umumnya dimiliki oleh penduduk asli benua Eropa dan Asia Timur Laut.
Pada wajah mereka rata-rata dapat ditemukan freckles atau bintik-bintik. Fitzpatrick mengungkapkan bahwa bintik-bintik tersebut terbentuk akibat paparan sinar matahari yang menyengat kulit. Mereka, orang-orang berkulit putih pucat, memiliki pigmen kulit melanin jenis pheomelanin.
Sayangnya pigmen jenis ini tidak dapat melindungi kulit dari paparan sinar ultraviolet (UV). Kondisi tersebut menstimulasi tubuh mereka untuk melakukan produksi melanin lebih banyak dari biasanya sehingga bintik-bintik tersebut muncul.
Orang-orang yang disertai warna kulit putih pucat memiliki kondisi kulit yang super sensitif terhadap sinar matahari. Kulit mereka akan selalu tampak terbakar jika terkena paparan sinar matahari. Namun demikian, warna kulit mereka tidak akan berubah warna menjadi cokelat meskipun sengatan matahari mengenai kulit mereka.
Warna yang Cocok untuk Kulit Sawo Matang
Dalam artikel ini, Minto akan membahas tujuh warna yang cocok untuk kulit sawo matang, sehingga kamu yang mempunyai warna kulit ini dapat menemukan inspirasi untuk tampilan yang sempurna. Simak penjelasannya di bawah ini ya
Warna biru navy adalah salah satu pilihan terbaik untuk kulit sawo matang. Warna ini memberikan kontras yang menarik dengan warna kulit yang kaya, sehingga menciptakan tampilan yang elegan. Kamu bisa memilih pakaian biru navy dalam berbagai bentuk seperti blus, dress, kemeja, kaos atau blazer untuk menciptakan penampilan yang elegan dan modern.
Warna kuning mustard merupakan warna yang hangat dan menyenangkan untuk kulit sawo matang. Warna ini memberikan kilauan indah pada kulit dan memberikan kesan cerah pada penampilan kamu.
Kamu bisa mencoba pakaian seperti blus atau jumpsuit untuk para wanita, sedangkan untuk pria kamu bisa memilih kaos atau sweater dengan warna kuning mustard untuk tampilan yang segar dan menarik.
Hijau Pucuk atau Hijau Fuji adalah warna yang cocok untuk kulit sawo matang karena menciptakan kontras yang indah. Pilihlah pakaian dengan kedua warna hijau ini dengan model pakaian seperti dress atau celana panjang untuk menambahkan sentuhan alami pada penampilan kamu. Warna ini juga melambangkan kesegaran dan kehidupan, sehingga memberikan tampilan yang segar dan ceria.
Merah maroon adalah warna yang penuh gairah dan elegan untuk kulit sawo matang. Warna ini memberikan tampilan yang dramatis dan menarik perhatian. Kamu bisa memilih gaun merah marun atau blus dengan warna ini untuk acara khusus atau malam yang istimewa. Pastikan untuk memadukan warna ini dengan aksesori yang sederhana agar tampilan kamu tetap berfokus pada warna pakaian tersebut.
Warna coklat kopi adalah warna netral yang sangat cocok untuk kulit sawo matang. Warna ini memberikan kesan hangat dan menyatu dengan warna kulit kamu. Pilihlah pakaian seperti jaket atau celana dengan warna coklat kopi untuk menciptakan tampilan yang trendi dan elegan sekaligus.
Ungu tua adalah warna yang anggun dan misterius untuk kulit sawo matang. Warna ini memberikan kontras yang kuat dengan kulit gelap, menciptakan tampilan yang dramatis dan menarik. Kamu bisa mencoba gaun ungu tua atau rok dengan warna ini untuk acara formal atau malam hari. Untuk para pria kamu juga bisa menggunakan warna ini dengan memilih pakaian seperti polo shirt.
Warna orange tidak hanya memberikan kesan yang cerah dan kontras, masih ada pilihan warna orange yang lebih gelap seperti orange bata dan autumn orange. Kedua warna ini adalah warna yang energik dan cerah untuk kulit sawo matang. Warna ini memberikan kesan ceria dan menyala pada penampilan kamu. Tidak ada salahnya untuk kamu mencoba blus atau jumpsuit dengan warna orange ini untuk tampilan yang segar dan memikat.
Setelah kamu mengetahui apa saja warna yang cocok untuk kulit sawo matang seperti beberapa pilihan di atas, pastinya akan lebih memudahkan kamu untuk memilih baju saat akan berpergian atau beraktivitas kan? Tapi tentunya warna yang kamu gunakan setiap harinya tidak akan terus berputar pada 7 warna di atas saja, mungkin ada kalanya kamu juga ingin menggunakan jenis warna yang cocok untuk kulit sawo matang lainnya juga.
Maka dari itu di bawah ini Minto juga membagikan tips bagaimana cara untuk memilih warna yang cocok untuk kulit sawo matang
Golongan VI untuk Warna Kulit Cokelat Sangat Tua Menuju Hitam
Golongan warna kulit terakhir yang disebutkan oleh Fitzpatrick dalam teori skala warna kulitnya adalah very dark brown. Ya, Anda benar Grameds. Golongan warna kulit very dark brown ini memiliki jumlah melanin yang sangat banyak dan mengakibatkan warna kulit menjadi cokelat mendekati hitam.
Rata-rata orangnya memiliki mata berwarna cokelat kehitaman dan berambut hitam. Orang-orang yang memiliki kulit berwarna cokelat sangat tua ini banyak yang mendiami Benua Afrika dan suku Aborigin (penduduk asli Benua Australia).
Kulit yang berada tipe ini merupakan kulit yang paling aman dari resiko kanker kulit. Meskipun terkena paparan sinar UV dari matahari, kulit jenis ini memiliki kemampuan beradaptasi yang paling baik dibandingkan kulit jenis lainnya. Jika terkena paparan sinar UV matahari, kulit berwarna very dark brown tidak muncul bintik-bintik, tidak pernah terbakar, namun selalu berubah menjadi gelap.
Bagi Anda yang masih penasaran bagaimana merawat kulit berdasarkan golongan kulit, Anda bisa membaca buku-buku pilihan kami.
Karena setiap tipe warna kulit memiliki jumlah pigmen melanin, kemampuan beradaptasi di bawah paparan sinar UV matahari, dan karakter yang berbeda, maka masing-masing tipe warna kulit memilikicara perawatan yang berbeda. Untuk kulit tipe I sampai III, Anda memiliki kulit yang mempunyai resiko tinggi akan terbakar, melanoma, kanker kulit, dan penuaan akibat paparan sinar UV matahari.
Oleh karena itu, para dermatolog atau dokter kulit menyarankan Anda agar melakukan beberapa tips di bawah ini:
Sementara itu, bagi Anda yang memiliki warna kulit tipe IV sampai VI, tips yang diberikan pada dasarnya hampir sama dengan yang diberikan untuk warna kulit tipe I sampai III. Hanya saja, pakaian pelindung yang digunakan tidak diharuskan memiliki UPF sebesar 30. Dan Anda cukup menggunakan sunscreen yang memiliki SPF minimal 15 jika keluar di bawah paparan sinar matahari.
Masih penasaran cara merawat kulit lainnya? Tenang, kami masih ada stok buku-buku terbaik.
Grameds, ulasan kita mengenai macam warna kulit manusia telah sampai pada ujungnya. Kami yakin masih ada banyak bahasan mengenai warna kulit dan perawatan kulit. Oleh karena itu, Gramedia menjadi #Sahabattanpabatas Anda untuk menggali ilmu dan pengetahuan lebih dalam lagi dengan buku-buku pilihan kami.
Penulis: Nanda Iriawan Ramadhan
Belanja di App banyak untungnya:
Indigenous ethnic groups of Malaysia
. The specific problem is:
Orang Asli[a] are a heterogeneous indigenous population forming a national minority in Malaysia. They are the oldest inhabitants of Peninsular Malaysia.
As of 2017, the Orang Asli accounted for 0.7% of the population of Peninsular Malaysia.[2] Although seldom mentioned in the country's demographics, the Orang Asli are a distinct group, alongside the Malays, Chinese, Indians, and the indigenous East Malaysians of Sabah and Sarawak. Their special status is enshrined in law.[3] Orang Asli settlements are scattered among the mostly Malay population of the country, often in mountainous areas or the jungles of the rainforest.
While outsiders often perceive them as a single group, there are many distinctive groups and tribes, each with its own language, culture and customary land. Each group considers itself independent and different from the other communities. What mainly unites the Orang Asli is their distinctiveness from the three major ethnic groups of Peninsular Malaysia (ethnic Malays, Chinese, and Indian) and their historical sidelining in social, economic, and cultural matters.[4] Like other indigenous peoples, Orang Asli strive to preserve their own distinctive culture and identity, which is linked by physical, economic, social, cultural, territorial, and spiritual ties to their immediate natural environment.[5][6]
Prior to the official use of the term "Orang Asli" beginning in the early 1960s, the common terms for the indigenous population of Peninsular Malaysia varied.[7] Thomas John Newbold recorded that "Malays" of Rembau in present-day Negeri Sembilan had given their local forest-dwelling hunter-gathering population the contemporary name of orang benua (Jawi: اورڠ بنوا) meaning "people of the soil or country".[8] Towards the end of British colonial rule on the Malay Peninsula, there were attempts to classify these disparate groups. Residents of the southern regions often called them Jakun, and those in the northern regions called them Sakai. Later on, all indigenous groups became known as Sakai, meaning Aborigines.[9] The term "aborigines", as an official name, appeared in the English version of the Constitution of British Malaya and the laws of the country. Past colonial rule by European and Islamic powers gave both the Malay word Sakai and the English term Aborigines pejorative connotations, hinting at the supposed backwardness and primitivism of these people.[9][10] During the Malayan Emergency in the 1950s Communist rebels, seeking the support of the indigenous tribes, began referring to them as Orang Asal, meaning "native people": the adjective asal itself from Arabic: أصل, romanized: `asl "origin".[11] The Communists won their support, and the government, seeking to do the same, began adopting the same terminology. Thus, the new, slightly modified term "Orang Asli", carrying the same sense of "original people", was born.[9] The term was officially used in English, where it is identical in both the singular and the plural.[9] Despite its origin as an exonym, the term was adopted by indigenous peoples themselves.
The Orang Asli makes up one of 95 subgroups of indigenous people of Malaysia, the Orang Asal, each with their own distinct language and culture.[12] The British colonial government classified the indigenous population of the Malay Peninsula on physiological and cultural-economic grounds upon which the Aboriginal Department (responsible for dealing with Orang Asli issues since the British Malaya government) developed their own classification of indigenous tribes based on their physical characteristics, linguistic kinship, cultural practices and geographical settlement. This divides Orang Asli into three main categories, with six ethnic subgroups each (totaling 18 ethnic subgroups).
This division does not claim to be scientific and has many shortcomings.[14] The boundaries between the groups are not fixed, and merge into each other, and the Orang Asli themselves use names associated with their specific area or by a local term meaning 'human being'.[15]
Semang are part of the earliest modern human migration that arrived Peninsular Malaysia 50 to 60 thousand years ago, while Senoi are part of Austroasiatic population that arrived Peninsular Malaysia 10 to 30 thousand⁸ year ago.[16][17] Some earlier hypotheses pointed out the Semang and Senoi as descendants of the Hoabinhian people,[18] Further research showed Semang shared genetic drift with ancient genomes from Hoabinhian ancestry, suggesting that they are genetically closer to the ancestors of Hoabinhian hunter-gatherers who occupied northern parts of Peninsular Malaysia during the late Pleistocene.[19][20] Both groups speak Austroasiatic languages (also known as Mon-Khmer language).
The Proto-Malays, who speak Austronesian languages, migrated to the area between 2000 and 1500 BCE during the Austronesian expansion. Along with the ethnic Malays, they originated from the seaborne migration of the Austronesian peoples, ultimately from Taiwan. It is believed that Proto-Malays were the first wave of Proto-Malayo-Polynesian speakers that settled Borneo and the western Sunda Islands initially, but didn't penetrate Peninsula Malaysia due to preexisting populations of Austroasiatic speakers. Later Austronesian migrations from either western Borneo or Sumatra, settled the coastal areas of Peninsular Malaysia became the modern Malayic-speaking populations ("Deutero-Malays").[21] However, other authors have also concluded that there is no real distinction between Proto-Malays and Deutero-Malays, and both are descendants of a single migration event into Sumatra, Peninsular Malaysia and southern Vietnam from western Borneo, This migration diverged into the modern speakers of the Malayic and Chamic branches of the Austronesian language family.[22]
The Proto-Malays were originally considered ethnic Malay, but reclassified arbitrarily as part of Orang Asli by the British colonial authorities due to the similarity of their socio-economic and lifestyles with the Senoi and Semang. There are various degrees of admixture within all three groups. Only over time did indigenous peoples begin to identify themselves under the common name "Orang Asli" as a marker of collective identity as natives, distinct from the predominant ethnic groups more recently arrived to the peninsula.[23] Orang Asli seldom associate themselves with the categories of "Negrito", "Senoi" and "Aboriginal Malays".[24][25]
The Orang Asli Negrito share a common genetic origin with East Asian people, but each can be differentiated on a finer scale.[26]
According to the Encyclopedia of Malaysia, the Semang or Pangan are regarded as the earliest inhabitants of the Malay Peninsula. They live mainly in the northern regions of the country, and are considered to be mostly descended from the people of the Hoabinhian cultural period, with many of their burials found dating back 10,000 years ago.[27]
They speak the Aslian languages branch of the Mon-Khmer language which is part of the Austroasiatic language family, as do their Senoi agriculturalist neighbours. Most of them belong to the North Aslian language group, and only the Lanoh language belongs to the Central Aslian languages group.
As of 2010, the Semang number approximately 4,800. They mostly live in Perak (2,413 people, 48.2%), Kelantan (1,381 people, 27.6%) and Pahang (925 people, 18.5%). The remaining 5.7% of Semang are distributed throughout Malaysia.[27]
Senoi is the largest subdivision of the Orang Asli, accounting for about 54% of their population. This ethnic group includes six tribes: Temiar, Semai, Semaq Beri, Jah Hut, Mah Meri and Cheq Wong. They live mainly in the central and northern parts of the Malay Peninsula. Their villages are scattered in the states of Perak, Kelantan and Pahang, including on the slopes of the Titiwangsa Mountains.[28]
Physically, the Senois in general differ from the indigenous tribals in terms of being taller in height, and having much lighter skin colour, and wavy hair. They were thought to have similar physical characteristics to the Mongoloid (now a discredited racial term) and even the Dravidians. Like the Semang, they also speak Aslian languages. Many Senoi are believed to be descendants of unions of Negritos with migrants from Indochina,[12] probably Proto-Malays.
The term "Senoi" comes from the words sen-oi and seng-oi, which means "people" in Semai language and Temiar language, respectively.[12]
The traditional economy of the Senoi people was based on jungle resources, where they would engage in hunting, fishing, foraging and logging. In contact with the Malay and Siamese states, the Senoi people were involved in trading and were the main suppliers of jungle produce in the region. Now most of them work in the agricultural sector and have their own farms to grow rubber, oil palm, or cocoa.[29][30]
In the daily life of the Senoi people, the norms of customary laws are observed. Since the days of the colonial era, missionaries of world religions have been active among these jungle dwellers. Now some people among the tribes are adherents of Islam, Christianity, or Baháʼí Faith.[31]
Proto-Malays, or Aboriginal Malays, are the second largest group of Orang Asli, making up about 43%.[28] This group consists of seven separate tribes: Jakun, Temuan, Temoq, Semelai, Kuala, Kanaq, and Seletar people. In the colonial period, they were all erroneously called Jakun people. They live mainly in the southern half of the peninsula, in the states of Selangor, Negeri Sembilan, Pahang and Johor. Most of the settlements of the Aboriginal Malays are in the upper reaches of rivers and also along the coastal areas not pre-empted and taken over by the Malays.[32]
Their customs, culture and languages are very similar to the Malaysian Malays. They are similar to the Malays in appearance, having a dark skin colour, straight hair and an epicanthic fold. Today, Aboriginal Malays are firmly settled people, mostly permanently employed in agriculture. Those who live on the river banks or on the coast are engaged in fishing. Many of them are also employed, and there are those who are engaged in entrepreneurial activities or work as professionals.[33]
The group term covers tribes that are very distinct from each other. Temuan people, for example, have a long tradition of agriculture. The Orang Kuala and Orang Seletar, who live by the sea, are mainly engaged in the fishing and seafood industry. Semelai people and Temoq people differ from other groups in language.[34][35]
The Aboriginal Malays are considered a race of people grouped within each smaller tribe of their own. These had long remained unaffected by foreign influences.[36] The Aboriginal Malays are often distinguished from the Malaysian Malays because they are generally not Muslims. But the Orang Kuala converted to Islam before the independence of Malaysia.
More significant is the differing origins of these sub-groups. In Indonesia and Malaysia, some believe there are two branches of the Austronesian peoples, identified as Proto-Malays and Deutero-Malays. According to this theory, the Proto-Malays inhabited the islands of the Sunda archipelago about 2,500 years ago. The migration of Deutero-Malays is attributed to later times, but more than 1,500 years ago. They mingled with the Proto-Malays who were already inhabiting the land, as well as with the Siamese, Javanese people, Sumatrans, Indian ethnic groups, Thai people, and Persian, Arab and Chinese merchants, resulting in the formation of the modern Malays of the Malay Peninsula. Although this theory has not been supported by scientific evidence, it is generally accepted in the attitude of the Malays toward the indigenous tribes.[citation needed]
Some of the Aboriginal Malay tribes, including the Orang Kanaq and Orang Kuala, are difficult to be regarded as indigenous to the Malay Peninsula, as they only migrated in the last few centuries, much later than the Malays. Most Orang Kuala still live on the eastern coast of Sumatra in Indonesia, where they are also known as the Duano people.[37]
The languages of the Proto-Malays are archaic dialects of the Malay language. The only exceptions are the Semelai language and the Temoq language, which are part of the Aslian languages, as are the Senoi and Semang languages.[34][35]
Aboriginal Malay tribes:[24]
Malays make up just over 50% of Malaysia's population, followed by Chinese (24%), Indians (7%) and the indigenous of Sabah and Sarawak (11%), while the remaining of Orang Asli is only 0.7%.[38] Their population is approximately 148,000.[28] The largest group are the Senois, constituting about 54% of the total Orang Asli population. The Proto-Malays form 43%, and the Semang forming 3%.[28] Thailand is home to roughly 600 Orang Asli, divided between Mani people with Thai citizenship, and 300 others in the deep south.[39] At the same time, the number of Orang Asli has been growing steadily for many years. Between 1947 and 1997, the average growth rate averaged at 4% per year. This is largely due to the overall improvement in the quality of life of indigenous people.[40]
Population of the Orang Asli:
Distribution of Orang Asli by state (2010)[12]
Pahang - 63,174 (39.24%)
Perak - 51,585 (32.04%)
Кelantan - 13,123 (8.15%)
Selangor - 10,399 (6.46%)
Johor - 10,257 (6.37%)
Negeri Sembilan - 9,502 (5.90%)
Меlaka - 1,502 (0.93%)
Теrengganu - 619 (0.38%)
Кuala Lumpur - 316 (0.20%)
More than half of the Orang Asli live in the states of Pahang and Perak, followed by the indigenous peoples of Kelantan, Selangor, Johor, and Negeri Sembilan. In the states of Perlis and Penang, the Orang Asli are not considered indigenous. Their presence there indicates the mobility of the Orang Asli, as they come to the industrial areas of the country in search of employment opportunities.[citation needed]
Distribution of Orang Asli tribes by state: [25]
According to the 2006 census, the number of Orang Asli was 141,230. Of these, 36.9% lived in remote villages, 62.4% on the outskirts of Malay villages and 0.7% in cities and suburbs.[41] Thus, the majority of the indigenous population are in rural areas. Some of them make regular trips between their native villages and the cities where they work. Orang Asli do not show much desire to permanently settle in cities because of the high cost of living for them. In addition, they feel out of place in urban communities due to differences in education and socio-economic status, as well as language and racial barriers.
The location of Orang Asli villages largely determines their accessibility and, consequently, the level of state aid they receive, as well as the participation of indigenous peoples in the economic life of the country and the level of their income. As a result, residents of villages located in different areas differ in living standards.
Orang Asli is the poorest community in Malaysia. The poverty rate among Orang Asli is 76.9%.[42] According to the Department of Statistics of Malaysia in 2009, 50% of indigenous people in Peninsular Malaysia were below the poverty line, compared to 3.8% in the country as a whole.[38] In addition to this high rate, the Statistics Department of Malaysia has classified 35.2% of the population as being "very poor".[12] The majority of Orang Asli live in rural areas, while a minority have moved into urban areas. In 1991, the literacy rate for the Orang Asli was 43% compared to the national rate of 86% at that time.[42] They have an average life expectancy of 53 years (52 for male and 54 for female) against the national average of 73 years.[12] The national infant mortality rate in Malaysia in 2010 was 8.9 children per 1,000 live births but among the Orang Asli the figure was at a maximum of 51.7 deaths per 1,000 births.[43]
The Malaysian Government has undertaken various measures to eradicate the poverty level among the Orang Asli, many of them have been relocated from their nomadic and semi-nomadic dwelling to a permanent housing estate under the relocation program initiated by the government.[44] These settlements are equipped with modern amenities including electricity, running water and school. They were also awarded plots of palm oil land to be cultivated and as a source of income.[45] Other programmes initiated by the government includes various special scholarship for the Orang Asli children for their studies and entrepreneurship courses, training and monetary funds for Orang Asli adult.[46][47] The Malaysian Government aims to increase the monthly household income for Orang Asli from RM 1,200.00 per-month in 2010 to RM 2,500.00 by year 2015.[citation needed]
Changes in the distribution of Orang Asli by religion (according to JAKOA and the Department of Statistics of Malaysia):
Linguistically the Orang Asli divide into two groups: from the Austroasiatic languages and the Austronesian languages family.
Northern groups (Senoi and Semang) speak languages that are grouped into a separate Aslian languages group, which form part of the Austroasiatic language family. On the basis of language, these peoples have historical ties with the indigenous peoples of Myanmar, Thailand and the larger Indochina.[42] These are further divided into the Jahaic languages (North Aslian), Senoic languages, Semelaic languages (South Aslian), and Jah Hut language.[49] The languages which fall under the Jahaic language sub-group are the Cheq Wong, Jahai, Bateq, Kensiu, Mintil, Kintaq, and Mendriq languages. The Lanoh language, Temiar language, and Semai language fall into the Senoic language sub-group. Languages that fall into the Semelaic sub-group include the Semelai language, Semoq Beri language, Temoq language, and Besisi language (language spoken by the Mah Meri people).
The second group that speaks Aboriginal Malay languages, except Semelai language and Temoq language, is very close to the standard Malay language, which form part of the Austronesian language family. These include the Jakun and Temuan languages among others.[50] Semelai people and Temoq people speak Austroasiatic languages, with the latter are not distinguished in Malaysia as a separate people.[42]
According to Geoffrey Benjamin,[51] a leading specialist in the study of Aslian languages and project Ethnologue: Languages of the World (20th edition, 2017) classifies the 18 Orang Asli tribes of Peninsular Malaysia linguistically as the following:
Although the study of Orang Asli began in the early 20th century, even by the 1960s there was very little professional research. Intensive early 1990s field research spawned a new wave of scholarly material and yet, these languages still remain only somewhat fully understood.[citation needed] There is a threat of extinction of certain Orang Asli languages.[54] Almost all Orang Asli are now bilingual; in addition to their native language, they are also fluent Malay language, the national language of Malaysia. Malay is gradually displacing native languages, reducing their scope at the domestic level.[55]
The role of lingua franca between Orang Asli speakers is usually played by the Semai language or Temiar language, which establishes a dominant presence. The state of the Northern Aslian languages also remains stable. Nomadic groups who speak them have little contact with the Malays, and although these populations are small, their languages are not threatened with extinction. Today, the Lanoh language belongs to the category of endangered languages, but among others, the Mah Meri language is in the greatest danger.[51] The continuance of these languages can be found in radio broadcasts, which did not begin in Orang Asli until in 1959. Asyik.FM currently broadcasts daily in Radio Malaysia in Semai, Temyar, Teman and Jakun languages from 8 am to 11 pm. The channel is also available via the Internet.[56]
In Malaysia, Orang Asli languages lack both natively-written literature and official status. However, some Baháʼí Faith and Christian missionaries, as well as JAKOA newsletters, produce printed materials in Aslian languages. Orang Asli value literacy, but they are unlikely to be able to support writing in their native language based on Malay or English.[51] Private texts recorded by radio announcers is based on Malay and English writing and are amateur in nature. The authors face the problems of transcription and spelling, and the influence of the stamps characteristic of the standard Malay language is felt. A new phenomenon is an emergence of text messages in the Orang Asli language, which are distributed by their speakers, in particular, when using mobile phones. Unfortunately, due to fears of invasion of privacy, most of them are not made known to outsiders. Another development in the development of indigenous languages was the release of individual recordings of pop music in Aslian languages, which can be heard on Asyik FM.[51]
In some states of Malaysia, attempts are being made to introduce Orang Asli languages into the educational process of primary school to bolster school attendance to benefit the overall Malaysian education system. Without sufficient studies and a standardisation of spelling these efforts have been unsuccessful.[51]
The earliest traces of modern humans in the Malay Peninsula, archaeologists date back to a period of about 75,000 years ago.[24] Next, a number of evidence of ancient people living in the north of the peninsula were left about 40,000 years ago.[57] The climate and geography of Southeast Asia at that time were vastly different from today. During the Ice age period, the sea level was much lower, the seabed between the islands of the Sunda archipelago was then land, and the Asian mainland extended to present-day Sumatra, Java, Bali, Kalimantan, Palawan, forming the so-called Sundaland.
Global warming about 10,000 years ago caused glacier melt and rising sea levels resulting in the formation of the Malayan peninsula by approximately 8,000 years ago.[57] It is believed that the surviving prehistoric population were the ancestors of today's Semang people. Recent genetic studies identify them as a relic group of people who are descendants of the first migrants who came from Africa between 44,000 and 63,000 years ago.[14] This does not mean, however, that they have survived to this day in their original form. Over thousands of years, they have undergone local evolution. Thus, the Hoabinhian inhabitants of the Malay Peninsula were taller than the modern Semang people and did not belong to the Negrito race.[14][24] Recent studies have also shown genetic differences between Semang people and other Negritos, such as the indigenous Andamanese peoples and those from the Philippine Islands.[14]
Evidence of early human occupation of the Peninsula includes prehistoric artefacts and cave paintings such as the Tambun rock art, which is estimated to be around 2,000 to 12,000 years old. About 6,000–6,500 years ago, climatic conditions stabilised.[24] This period is marked by the appearance of the Neolithic on the Malay Peninsula, which is associated with the archaeological culture of Hòa Bình.[58] New groups of people genetically related to the population of Thailand, Cambodia and Vietnam arrived on the Malay Peninsula bringing new technologies, better tools, and ceramics. In the peninsula, slash-and-burn agriculture was commonly practiced. Traditionally, these migrants are associated with the ancestors of the Senoi people, but genetic studies suggest that the influx of new population was small, and migrants were mixed with locals.[24][57]
According to Glottochronology data, speakers of Aslian languages appeared in the Malay Peninsula, dating from about 3,800 to 3,700 years ago.[51] This is consistent with the peninsula ceramic tradition of Ban Kao from Central Thailand. During 2,800–2,400 years ago, the differentiation of the North Aslian language, Central Aslian languages and Southern Aslian languages began to develop.[51]
Some groups of the Austronesian speakers began to arrive in the Malay Peninsula, probably from Kalimantan and Sumatra, in 1000 BCE.[24] According to linguists, some of these early non-Malay arrivals are of Malayo-Polynesian peoples.[57] These Proto-Malay tribes inhabited mostly small, geographically divided groups along the coast and along rivers, while the inner jungle areas remained entirely with the native population. Each group of Proto-Malays developed their local character, adapting to specific local conditions.[57] The Southern Aslian speakers had the greatest contact with the newer population. It is believed that the ancestors of Jakun people and Temuan people who now speak Malay language, were native speakers of Aslian in the past.[51]
The Orang Asli kept to themselves until the first traders from India arrived in the first millennium of the Common Era.[59] Maritime trade routes brought traders from India, China, the Mon kingdoms located in modern-day Myanmar, and later from the Khmer Empire of Angkor, in search of local produce. Those living in the interior bartered inland products like resins, incense woods, and feathers for salt, cloth, and iron tools. From about 500 BCE, on the west coast of the Malay Peninsula and on either side of the Kra Isthmus, traders established their settlements, some of which later grew into large trading ports. At that time Kedah, in particular, was becoming an important center of international trade.[60]
Mengapa Warna Kulit Manusia Berbeda?
Setelah mengenal berbagai macam ras di dunia yang memiliki warna kulit berbeda, sekarang kita masuk dalam pembahasan mengapa warna kulit manusia. Kira-kira kenapa ya, Grameds? Ada yang tahu?
Benar. Ada berbagai faktor yang menyebabkan warna kulit manusia berbeda. Pertama, karena perbedaan jumlah melanin yang dihasilkan. Orang yang memiliki melanin yang sedikit cenderung memiliki warna kulit putih, sementara orang dengan jumlah melanin yang banyak cenderung memiliki warna kulit hitam.
Kedua, lingkungan. Kondisi lingkungan yang sedikit terkena paparan sinar cenderung memiliki kulit yang berwarna terang. Ketiga, faktor genetik. Untuk faktor ketiga ini merupakan faktor yang cukup berpengaruh besar bahkan mempengaruhi factor pertama, yaitu jumlah produksi melanin. Peran faktor ras juga ikut terlibat dalam faktor genetik.
Golongan IV untuk Warna Kulit Cokelat
Jenis kulit ini bisa dinamai dengan warna kulit cokelat sedang atau medium brown. Banyak dari orang yang memiliki warna kulit cokelat ini disertai mata berwarna cokelat tua dan warna rambut yang gelap. Grameds akan banyak menemui orang dengan jenis kulit ini pada orang-orang di beberapa bagian Mediteran (Spanyol, Perancis, Monako, Italia, Yunani, dan Malta), Timur Tengah, Asia Selatan, dan beberapa di Asia Tenggara.
Golongan ini memiliki jumlah melanin yang lebih banyak dibandingkan golongan I, II, dan III. Sehingga golongan kulit IV relatif lebih aman dari resiko kanker kulit akibat paparan sinar matahari. Apabila terkena sinar UV matahari, warna kulit jenis ini bisa saja berubah menjadi cokelat yang lebih gelap. Namun demikian, efek adanya bintik-bintik dan terbakar tidak terjadi.